PERAN BANK INDONESIA DALAM STABILITAS
KEUANGAN
Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank
Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem
keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam
menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak
akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup
kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
-
Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara
lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia
dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang.
Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap
berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga
yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu
pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank
Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting
framework.
- Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga
keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan
seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya
di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam
sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan
ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya
kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif
haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam
pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus
dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin
pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya
penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan
stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan.
Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank
Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana
implementasi Basel II.
- Bank
Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu
peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang
cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut
dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga
menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan
mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang
cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang
bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross
Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem
pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki
informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem
pembayaran.
- Melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat
mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan.
Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor
kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock)
yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia
dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi
kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya
akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.
- Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim
keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort
(LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank
sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem
keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi
normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi
masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat
sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang
mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk
membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank
Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu,
pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam
penyediaan likuiditas tersebut.
Peranan Bank Indonesia dalam Pengendalian Inflasi
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (BI), pada salah satu pasalnya disebutkan bahwa BI adalah lembaga
negara yang independen.
Maksud kalimat tersebut adalah Independen diartikan sebagai lembaga negara yang
bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lainnya. Selanjutnya, dalam
Pasal 9 dinyatakan bahwa pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur
tangan terhadap pelaksanaan tugas BI, dan demikian pula BI wajib menolak atau
mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka
melaksanakan tugasnya. Independensi tersebut ditandai dengan diberikannya
kewenangan penuh pada BI dalam menetapkan target-target yang akan dicapai (goal
independence) dan kebebasan dalam menggunakan berbagai piranti moneter
(instrument independence) dalam mencapai target tersebut. Selanjutnya, dalam Pasal
10 ditegaskan bahwa BI memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan moneter
melalui penetapan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi.
Demikian pula, untuk lebih meningkatkan efektivitas pengendalian moneter serta
kapasitasnya sebagai lender of the last resort, dalam Pasal 11 dinyatakan bahwa
pemberian kredit oleh BI kepada bank dibatasi.
Jangka waktu kredit kepada bank maksimal 90 hari dan penggunaannya hanya untuk
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek. Selain itu, kredit tersebut harus
dijamin dengan surat berharga yang bernilai tinggi dan mudah dicairkan yang
nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterima oleh bank.
Tujuan dan tugas BI saat ini sesuai dengan undang-undang baru tersebut adalah
tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk
mencapai tujuan tersebut BI mempunyai 3 tugas utama, yaitu menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank. Dalam rangka menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter tersebut, BI berwenang menetapkan
sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang
ditetapkan. Perlu dikemukakan bahwa tugas pokok BI berubah sejak diterapkannya
undang-undang tersebut, yaitu dari multiple objective (mendorong pertumbuhan
ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memelihara kestabilan nilai rupiah)
menjadi single objective (mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah).
Dengan demikian tingkat keberhasilan BI akan lebih mudah diukur dan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Strategi yang digunakan oleh BI dalam mencapai sasaran inflasi yang rendah
adalah :
1. Mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan
moneter.
2. Menentukan sasaran akhir kebijakan moneter.
3. Mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi.
4. Memformulasikan respon kebijakan moneter.
Dapat ditambahkan bahwa laju inflasi yang diperoleh dari indeks harga konsumen
(IHK) sebagai sasaran akhir dan laju inflasi inti (core atau underlying
inflation) sebagai sasaran operasional.
Konsep inflasi inti (core inflation) dapat kita bagi menjadi dua yaitu
Berdasarkan pengertiannya, ada 2 konsep dalam pengertian inflasi inti. Pertama,
inflasi inti sebagai komponen inflasi yang cenderung ‘menetap’ atau persisten
(persistent component) di dalam setiap pergerakan laju inflasi. Kedua, inflasi
inti sebagai kecenderungan perubahan harga-harga secara umum (generalized
component). Core inflation pada beberapa literatur disebut juga dengan
underlying inflation. Inflasi inti inilah yang dapat dipengaruhi atau
dikendalikan oleh BI. Di dalam operasionalnya, BI tidak menggunakan inflasi IHK
sebagai acuan dalam mengambil kebijakan moneter, namun menggunakan inflasi
inti.
Peranan Bank Indonesia Dalam Sistem Pembayaran
Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai peranan penting dalam sistem
pembayaran. Ada beberapa pihak yang terlibat di dalam sistem pembayaran yaitu
pihak yang menyelenggarakan sistem pembayaran, pihak yang mendukung sistem
pembayaran, pihak yang memberikan jasa dalam sistem pembayaran, dan pihak yang
mengatur serta mengawasi sistem pembayaran.
Peranan Bank Indonesia dalam sistem pembayaran sangat luas, karena sebagai
operator, regulator, dan sekaligus sebagai pengawas. Hubungan bank sentral
dengan sistem pembayaran setiap Negara memiliki kadar yang berbeda, ada yang
memiliki keterlibatan tinggi (Indonesia), dan ada yang sedikit (Hongkong).
Berdasarkan UU. No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, wewenang mengatur,
mengawasi, dan memberi atau mencabut izin berdirinya bank mutlak menjadi
wewenang Bank Indonesia. Luasnya cakupan tugas dan wewenang Bank
Indonesia menimbulkan kerentanan akan keefektifan khususnya tugas pengawasan.
Mengingat begitu banyaknya bank-bank umum dan Bank Prekreditan Rakyat yang
harus diawasi. Maraknya kasus perbankan seperti kasus Bank Century, City Bank,
dan pembobolan bank oleh orang dalam menunjukkan lemahnya system intern bank
itu sendiri dan pengawasan oleh Bank Indonesia.
Oleh sebab itu, timbul gagasan tugas pengawasan perbankan diserahkan ke lembaga
khusus. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawas sektor jasa
keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang yang pembentukannya
dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Tetapi sampai dengan akhir
tahun 2010, lembaga yang rencananya akan diberi nama Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) belum terbentuk.
Tarik menarik kepentingan antara Bank Indonesia dengan pihak-pihak lain terus
terjadi, sehingga terbentuknya OJK berjalan dengan alot. Rencanana OJK tidak
hanya bertugas mengawasi sektor perbankan, tetapi juga jasa keuangan lainnya
seperti: asuransi, dana pensiun, bursa efek, bursa berjangka, dan badan
penyelenggara program jaminan sosial.
Peranan Perbankan Sebagai Otoritas Moneter
Peran bank sentral dalam perekonomian suatu negara sangat penting. Bank sentral
adalah mitra utama pemerintah dalam menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi
melalui kebijakan suku bunga dengan statusnya sebagai otoritas moneter. Sebagai
otoritas moneter, bank sentral memiliki tujuan, tugas, maupun wewenang yang
tidak dimiliki lembaga ekonomi lainnya.
Sebelum membahas mengenai beberapa hal terkait otoritas moneter yang dimiliki
oleh Bank Indonesia, maka perlu diketahui terlebih dahhulu mengenai definisi
dari kebijakan moneter dan otoritas moneter itu sendiri.
Dalam ”kamus hukum ekonomi” yang disusun oleh A. F. Elly Erawaty dan J. S.
Badudu dikatakan bahwa kebijakan moneter (monetary policy) adalah tindakan bank
sentral selaku pemegang otoritas moneter dalam menjaga keseimbangan moneter
negara.
Sedangkan otoritas moneter adalah suatu entitas yang memiliki wewenang untuk
mengendalikan jumlah uang yang beredar pada suatu negara dan memiliki hak untuk
menetapkan suku bunga dan parameter lainnya yang menentukan biaya dan
persediaan uang. Umumnya otoritas moneter adalah bank sentral, meskipun kadang kala
lembaga eksekutif pemerintah mempunyai hak tertinggi untuk menetapkan kebijakan
moneter dengan cara mengendalikan bank sentral. Ada berbagai jenis otoritas
moneter lainnya, seperti dibentuknya satu bank sentral untuk beberapa negara,
terdapatnya suatu dewan yang mengkontrol jumlah uang yang beredar terhadap mata
uang lain, dan juga diperbolehkannya beberapa entitas untuk mencetak uang
kertas ataupun uang logam.
Agus Santoso dan Anton Purba mengatakan dalam tulisannya yang berjudul
“Kedudukan Bank Indonesia dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Amandemen Keempat) dan Usulan Komisi Konstitusi dalam Konsep Amandemen Kelima
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945” bahwa kewenangan otoritas moneter
yang dimiliki Bank Indonesia merupakan hasil dari sharing of executive power
kekuasaan Pemerintah di bidang ekonomi
Sharing of executive power ini dimaksudkan untuk menghindarkan Bank Indonesia
dari posisi yang dapat menimbulkan conflict of interest, yaitu antara “agen
program Pemerintah” dan “pengelola kebijakan moneter.Kedua fungsi tersebut
memang tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga, karena kedua fungsi tersebut
memiliki tujuan yang berbeda. Disatu sisi, Pemerintah memiliki tujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan kebijakan fiskal dan dilain pihak
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mendukung kestabilan ekonomi melalui
kebijakan moneternya.Dengan demikian, pembagian kekuasaan (sharing of executive
power) ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mendukung terciptanya demokratisasi
dalam pengelolaan (ekonomi) Negara.
Dalam konsep sharing of executive power ini, maka Pemerintah memegang otoritas
fiskal (dan sektor riil), sedangkan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara yang
memliki fungsi khusus, yaitu sebagai otoritas di bidang moneter, perbankan, dan
system pembayaran, dengan tujuan menkonstruksikan pertumbuhan ekonomi nasional
yang sehat yang tercermin dari terjaganya kestabilan rupiah. fungsi ini
diyakini tidak dapat berjalan dengan baik apabila tercampur dengan ragam fungsi
departemental pemerintahan yang sarat dengan tarik menarik kepentingan politik
dan seringkali berubah karena mengandung faktor subyektifitas yang tinggi.
Dengan demikian, maka dengan adanya sharing of executive power ini, kekuasaan
Pemerintah dalam kebijakan ekonomi tidak terkonsentrasi.Hal ini juga secara
tegas tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa kekuasaan Presiden selaku
Kepala Pemerintahan “tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang meliputi
antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan
undang-undang”.
Namun, sebagai organ of state Bank Indonesia dalam beberapa hal harus tetap
berkoordinasi dengan Pemerintah.Dengan kata lain, hubungan ini dapat
digambarkan sebagai fungsi pengelolaan moneter yang tidak berada di bawah
pengelolaan kebijakan fiskal, tetapi yang terpisah, namun tetap bekerjasama
dengan pengelola fiskal untuk memperoleh manfaat yang semaksimal mungkin dalam
pembangunan ekonomi nasional.
1. Sebelum Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (UU No.
23/1999 jo UU No. 3/2004)
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa awal kemerdekaan, terdapat
dua bank yang menjalankan fungsi sebagai bank sentral, yaitu Bank Negara
Indonesia (BNI) 1946 dengan De Javasche Bank milik Belanda. Secara formal
sendiri, Indonesia hanya mengakui Bank Negara Indonesia sebagai Bank Sentral.
Bank Negara Indonesia pada masa itu memiliki fungsi sebagai bank komersial
(dalam hal-hal khusus) dan fungsi utama sebagai bank sentral.Sebagai bank
sentral Bank Negara Indonesia memiliki kewenangan sebagai otoritas moneter,
tetapi tidak murni sebagai otoritas moneter, karena masih melakukan tugas lain
seperti pemberian kredit kepada badan Pemerintah.
Sejak diundangkannya UU No.11/1953 tentang Bank Indonesia, maka fungsi bank
sentral beralih dari Bank Negara Indonesia kepada Bank Indonesia. Bank
Indonesia mempunyai tugas membantu Pemerintah dibidang moneter dan perbankan.
Berdasarkan tugas pokok bank sentral yang digariskan pada UU No.11/1953, maka
peran pokok Bank Sentral yang harus dijalankan oleh Bank Indonesia selain
sebagai otoritas moneter adalah mengembangkan sistem perbankan, mengawasi
kegiatan perbankan, penyaluran kredit bank dan merangkap sebagai bank
komersil. Selain itu karena pada masa itu Bank Indonesia menjadi bagian dari
Pemerintah, maka Bank Indonesia juga melaksankan peran sebagai agen pembangunan
dengan keharusan menyalurkan kredit (berbunga) murah kesektor pertanian,
perkebunan, usaha kecil dan koperasi. Dengan demikian Bank Indonesia sebagai
bank sentral berfungsi ganda yaitu sebagai banker’s bank merangkap sebagai bank
komersial.
Namun setelah diundangkannya UU No.13/1968 fungsi Bank Indonesia sebagai bank
komersial dicabut. Dengan demikian bank sentral menurut Undang-undang ini tidak
lagi berfungsi ganda (merangkap sebagai bank komersial), tetapi bank sentral
masih melaksanakan tugas/peran sebagai bankir sekaligus sebagai kasir
pemerintah (Pasal 34, 36, dan Pasal 38).
2. Sesudah Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia (UU No.
23/1999 jo UU No. 3/2004)
Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Dan
untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
(i) menetapkan dan melaksankan kebijakan moneter; (ii) mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran; (iii) mengatur dan mengawasi Bank.
Dalam menetapkan dan melaksankan kebijakan moneter, Bank Indonesia berwenang
menetapkan sasaran-sasaran moneter dan melakukan pengendalian moneter dengan
cara-cara yang ditetapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, Bank Indonesia
melaksankan kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai tukar yang
ditetapkan, mengelola cadangan devisa utnuk memenuhi kewajiban luar negeri,
memelihara keseimbangan neraca pembayaran dan dapat juga menerima pinjaman luar
negeri.
Awalnya, untuk mencapai sasaran-sasaran moneter, Bank Indonesia juga
mempunyai fungsi sebagai lender of the last resort dan melaksanakan
pemberian kredit program yang telah disetujui tetapi belum ditarik. Dalam
melaksankan fungsi ini, Bank Indonesia hanya membantu untuk mengatasi mismatch
(ketidakseimbangan) yang disebabkan oleh resiko kredit atau resiko pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, resiko manajemen, dan resiko pasar. Namun setelah
diundangkannya UU No.23/1999, maka sesuai dengan status Bank Indonesia sebagai
otoritas moneter yang independen, maka pemberian kredit program tidak lagi
menjadi tugas Bank Indonesia.
Dalam rangka menetapkan dan melaksankan kebijakan moneter, Bank Indonesia
berwenang: (a) menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran
laju inflasi; (b) melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara
yang termasuk tetapi tidak terbatas pada: (i) operasi pasar terbuka di pasar
uang baik rupiah maupun valuta asing; (ii) penetapan diskonto; (iii) penetapan
cadangan wajib minimum; (iv) pengaturan kredit atau pembiayaan.
3. Peran Strategis Otoritas Jasa Keuangan
Peran strategis Otoritas Jasa Keuangan diatur dalam Pasal 34 UU No. 3/2004.
Dikatakan dalam ayat (1) bahwa ”Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh oleh
lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan
undang-undang”. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa lembaga
pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank
dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi,
dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta
badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugsnya dan kedudukannya
berada di luar Pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakya (DPR). Dalam melakukan
tugasnya lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasma
dengan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang akan diatur dalam Undang-undang
pembentukan lembaga pengawasan yang dimaksud.
Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan berkoordinasi dengan Bank Indonesia
dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang
diperlukan.
Dalam ayat Pasal 34 ayat (2) dikatakan bahwa Pembentukan lembaga pengawasan
tersebut akan dilaksanakan selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010.
Sebelumnya, pada Pasal 34 ayat (2) UU No.23/1999, disebutkan bahwa pembentukan
lembaga pengawasan (Otoritas Jasa Keuangan) yang dimaksud akan dilaksankan
selambat-lambatnya pada 31 Desember 2002. Namun, karena waktu yang diamanatkan
telah terlampaui maka dengan UU No.3/2004 ditegaskan kembali bahwa pengawasan
terhadap bank akan dilaksanakan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan
yang independen yang akan dibentuk selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010.
Pengunduran batas waktu pembentukan lembaga tersebut, ditetapkan dengan
memperhatikan kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur lembaga tersebut
dalam menerima pengalihan pengawasan bank dari Bank Indonesia.
Pengalihan fungsi pengawasan bank dari Bank Indonesia kepada lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya
syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur
organisasi, sistem informasi, sistem dokumentsi, dan peraturan pelaksanaan
berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dengan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka fungsi Bank Indonesia
untuk melakukan pengawasan bank sebgaimana diatur dalam Pasal 8 huruf c jo
Pasal 24 jo Pasal 27 UU No.23/1999 diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Namun demikian, selama Lembaga tersebut belum dibentuk maka tugas pengaturan
dan pengawasan Bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia.