Rabu, 21 November 2012

SEWA GUNA USAHA


Pengertian sewa guna usaha (leasing)

Pengertian sewa guna usaha menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tanggal 21 Nopember 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha: “Sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Transaksi leasing melibatkan 3 pihak, yaitu:
a.    Lessor adalah perusahaan leasing atau dalam hal ini pihak yang memiliki ha kepemilikan atas barang (asset).
b.    Lesse adalah perusahaan atau pemakai barang (asset) yang memiliki hak opsi pada akhir perjanjian
c.    Supplier (vendor) adalah pihak penjual barang yang disewa guna usahakan.

· Teknik Pembiayaan dalam Leasing dibagi 2, yaitu:

1.Operating Lease

    Merupakan kegiatan sewa guna usaha dimana penyewa guna usaha, tidak

    mempunyaihak opsi untuk membeli obyek sewa guna usaha.

2.Financial Lease

    Merupakan kegiatan sewa guna usaha dimana penyewa guna usaha pada akhir

    Masa kontrak memiliki hak opsi untuk membeli obyek sewa guna usaha 

    berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.

· Pihak-pihak yang terlibat dalam Leasing

a.     Lessor

Adalah perusahaan leasing atau pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada pihak lesse dalam bentuk barang modal

b.     Lesse

Adalah perusahaan yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor.

c.      Supplier

Adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan barang untuk dijual.

d.     Bank atau Kreditor

Dalam suatu perjanjian atau kontrak leasing, pihak bank atau kreditor tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut, namun pihak bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor terutama dalam mekanisme leverage lesse dimana sumber dana pembiayaan lessor diperoleh melalui kredit bank.

Kegiatan Leasing

Kegiatan usaha leasing baru diperkenalkan pada tahun 1974 dengan surat keputusan bersama Menteri keuangan, Menteri perindustrian, dan Menteri Perdagangan Nomor Kep.122/MK/IVi2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 301 Kpb/II74 tertanggal 7 januari 1974 tentang perizinan usaha Leasing. Selanjutnya, Menteri Keuangan mengeluarkan Surat Keputusan no.6491MKIIV/5/1974 tertanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan usaha leasing di Indonesia. Untuk mendukung perkembangannya, Menteri keuangan mengeluarkan surat keputusan Nomor 650/MK/IV/511974 tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan Pajak Penjualan dan besarnya Bea Materai terhadap Usaha Leasing.
          Dengan dikeluarkannya kebijaksanaan deregulasi 20 Desember 1988 atau disebut Pakdes 20 1998 kegiatan usaha Leasing termasuk dalam perusahaan pembiayaan. Di samping itu, Keppres Nomor 61 tahun1988 dan keputusan menteri keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 merupakan bagian dari Pakdes 88 dimana lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Ketentuan minimum modal disetor untuk pendirian suatu perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha leasing diatur dalam Pakdes 20 tahun 1988 dengan keputusan dengan keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988, dimana jumlah modal disetor atau simpanan wajib dan pokok ditetapkan sebagai berikut:
• Perusahaan swasta nasional sebesar Rp 3 miliar
• Perusahaan patungan Indonesia asing sebesar Rp 10 miliar
• Koperasi sebesar Rp 3 miliar

      Manfaat Leasing
1 . Menghemat modal
2. Flexible
3. Sebagai sumber dana
4. Menguntungkan Cash Flow
5. Menciptakan keuntungan dari pengaruh inflasi (karena bersifat tetap dalam jangka menengah dan jangka panjang sehingga nilai riil akan turun jika terjadi inflasi.
6. Sarana Kredit jangka menengah dan panjang.

 Klasifikasi Leasing

1. Capital Lease

Perusahaan leasing pada jenis ini berlaku sebagai suatu lembaga keuangan. Lessee yang akan membutuhkan suatu barang modal menentukan sendiri jenis serta spesifikasi dari barang yang dibutuhkan. Lessee juga mengadakan negoisasi langsung dengan supplier mengenai harga, syarat-syarat perawatan serta hal-hal lain yang berhubungan dengan pengoperasian barang tersebut.

Lessor akan mengeluarkan dananya untuk membayar barang tersebut kepada supplier dan kemudian barang tersebut diserahkan kepada lessee. Sebagai imbalan atas jasa pengguanaan barang tersebut lessee akan membayar secara berkala kepada lessor sejumlah uang yang berupa rental untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama. Jumlah rental ini secara keseluruhan akan meliputi harga barang yang dibayar oleh lessor ditambah faktor bunga serta keuntungan pihak lessor. Selanjutnya capital atau finance lease masih bisa dibedakan menjadi dua yaitu:

a.    Direct finance lease

Transaksi ini terjadi jika lessee sebelumnya belum pernah memiliki barang yang dijadikan objek lease. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa lessor membeli suatu barang atas permintaan lessee dan akan dipergunakan oleh lessee.

b.    Sale and lease back

Sesuai dengan namanya, dalam transaksi ini lessee menjual barang yang telah dimilikinya kepada lessor. Atas barang yang sama ini kemudian dilakukan suatu kontrak leasing antara lessee dengan lessor. Dengan memperhatikan mekanisme ini, maka perjanjian ini memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan direct finance lease. Di sini lessee memerlukan cash yang bisa dipergunakan untuk tambahan modal kerja atau untuk kepentingan lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan sistem sale and lease back memungkinkan lessor memberikan dana untuk keperluan apa saja kepada kliennya dan tentu saja dana yang dibutuhkan sesuai dengan nilai objek barang lease.


2. Operating Lease

Pada operating lease, lessor membeli barang dan kemudian menyewakan kepada lessee untuk jangka waktu tertentu. Dalam praktik lessee membayar rental yang besarnya secara keseluruhan tidak meliputi harga barang serta biaya yang telah dikeluarkan oleh lessor.

Di dalam menentukan besarnya pembayaran lease, lessor tidak memperhitungkan biaya-biaya tersebut karena setelah masa lease berakhir diharapkan harga barang tersebut masih cukup tinggi. Di sini jelas tidak ditentukan adanya nilai sisa serta hak opsi bagi lessee.


3. Sales type lease (Lease Penjualan)

Lease penjualan biasanya dilakukan oleh perusahaan industri yang menjual lease barang hasil produksinya. Dalam kontrak penjualan lease diakui dua macam pendapatan yaitu pendapatan penjualan barang dan pendapatan bunga atas jasa pembelanjaan selama jangka waktu lease.

4. Leverage Lease

Pada leasing ini dilibatkan pihak ketiga yang disebut credit provider. Lessor tidak membiayai objek leasing hingga sebesar 100% dari harga barang melainkan hanya antara 20% hingga 40%. Kemudian sisa dari harga barang tersebut akan dibiayai oleh credit provider.

5. Cross Border Lease

Transaksi pada jenis ini merupakan suatu transaksi leasing yang dilakukan dengan melewati batas suatu negara. Dengan demikian antara lessor dan lessee terletak pada dua negara yang berbeda.

Barang-barang atau peralatan yang ditransaksikan dalam cross border lease meliputi nilai jutaan dollar Amerika Serikat. Seperti Pesawat terbang bermesin jet dari Pabrikan Boeing dan Airbus.

Prosedur Mekanisme Leasing

Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Lessee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.

2. Setelah lessee mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai dokumen lengkap.

3. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lessee (lama kontrak pembayaran sewa lease), setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani.

4. Pada saat yang sama, lessee dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dangan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.

Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan

supplier peralatan tersebut.

6. Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lessee. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.

7. Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada suppplier.

8. Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lessee), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada lessor.

9. Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.

10. Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak lease.

Contoh Perusahaan Leasing


Contoh masalah leasing di Indonesia

BPSK kebanjiran berkas aduan masalah leasing

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Solo mulai kebanjiran berkas kasus dari aparat kepolisian. Salah satu penyebab utamanya ialah kian maraknya kasus sengketa di dunia leasing atau pembiayaan.

Wakil Ketua BPSK Solo, Bambang Ary menjelaskan, kasus sengketa di dunia pembiayaan antara konsumen dan pengusaha tiap waktu bukannya menurun. Melainkan, kian meningkat tajam seiring dengan kian mudahnya leasing memberikan peminjaman uang kepada konsumen. “Dan sejak BPSK berdiri, polisi mulai menyerahkan kasus-kasus seperti itu kepada kami. Sejak sepekan terakhir ini, kami mulai kebanjiran berkas kasus sengketa dari kepolisian,” jelasnya kepada Espos, Selasa (18/10).

Sejumlah berkas sengketa yang diterima dari kepolisian itu, jelas Bambang, rata-rata didominasi kasus perampasan, pengambilan secara sembunyi-sembunyi atas kendaraan konsumen karena terjadi tunggakan. Konsumen yang merasa dirugikan itu, lantas tak terima dan melapor polisi dengan tuduhan perampasan dan pencurian. “Semula, polisi memang menduga dan memburu pelaku layaknya sebuah kasus pencurian. Setelah tertangkap, ternyata baru diketahui bahwa itu persoalan sengketa konsumen dengan pengusaha,” paparnya.

Tingginya kasus sengketa leasing, jelas Bambang, kian menambah daftar panjang betapa sistem transaksi peminjaman uang sekarang ini memiliki banyak kelemahan. Akibatnya, pelanggaran di antara kedua belah pihak kerap terjadi. “Tak hanya pengusaha yang nakal, tapi sekarang ini konsumen nakal juga banyak,” tegasnya.

Bambang menilai, sudah saatnya para pelaku usaha pembiayaan melakukan pengetatan syarat bagi penerima peminjaman uang. Bahkan, kalau perlu belajar dari sistem perbankan tanpa bermaksud mempersulit. “Lha sekarang ini, siapa saja yang mau beli motor, gampang sekali. Bahkan, tanpa uang DP, bisa langsung cair. Leasing tak memperhatikan kemampuan peminjam. Akibatnya, sengketa kian marak,” tegasnya.

Di sisi lain, Bambang, juga sama sekali tak membenarkan tindakan leasing yang menyewa debt collector ketika menarik kendaraan. Selain tak prosedural karena tak didampingi polisi, penarikan kendaraan selama ini juga kerap semena-mena karena terkesan seperti pencurian dan perampasan. “Kasus yang baru saja masuk ke kami misalkan, semuanya mirip pencurian. Tahu-tahu, kendaraan hilang saat diparkir. Ternyata, diambil debt collector,” tegasnya.